--

Saturday 11 October 2014

Hati-hati dengan Uang Palsu (UPAL)

Seperti di kutip oleh republika.co.id, Salah satu masalah klasik dalam perekonomian hingga saat ini adalah uang illegal atau yang lebih familiar dikenal dengan sebutan uang palsu (UPAL).Permasalahan ini telah ada sejak masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan hingga masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz bin Marwan (Abdul Aziz, 2004:129) bahkan selalu tumbuh setiap kurun waktu dan berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi. Di Indonesia, fenomina pengedaran uang ilegal bukanlah hal yang baru dan terus berlanjut seiring berputarnya waktu, tak ubahnya hujan deras mengguyur padang gersang. Contoh: bulan kemarin, majalah Republika mengabarkan bahwa Bank Indonesia (BI) Pekanbaru mengungkapkan temuan uang palsu di Riau selama tahun 2012 mencapai Rp 26,51 juta atau meningkat sekitar 86 persen dibanding tahun 2011.Peneliti Ekonomi Madya BI Pekanbaru, Abdul Majid Ikram mengatakan,”Dibanding dengan tiga tahun terakhir, temuan uang palsu di Riau pada 2012 meningkat drastis dengan nominal Rp 26,51 juta,” (Republika.co.id, kamis, 14/3). Tidak hanya di Riau, pemalsuan dan pengedaran uang palsu (UPAL) juga terjadi di setiap wilayah bahkan setiap desa, sebagaimana yang diberitakan dalam majalah republika, di sana dikabarkan bahwa Kepolisian Resor (Polres) Jember, Jawa Timur, menangkap dua pelaku yang diduga sindikat pengedar uang palsu. Keduanya ditangkap saat turun dari bus di Terminal Tawang Alun kabupaten setempat.Setelah diperiksa polisi, ternyata di dalam tas mereka ada ratusan pecahan Rp 100 ribu uang palsu sebanyak 499 lembar, sehingga totalnya Rp 49.900.000.



Oleh karena itu, fenomena pemalsuan dan pengedaran uang illegal atau uang palsu tidak hanya harus ditangani secara serius oleh pemerintah saja, tetapi perlu adanya kesadaran dari masyarakat setempat, baik masyarakat akademisi ataupun non akademisi.Dari pemerintah perlu adanya langkah optimalisasi penegakan hukum yang kaffah dan dari masyarakat non akademisi harus sadar dan menyadari bahwa pemalsuan dan pengedaran uang palsu memberikan dampak negative bagi Negara, khususnya bagi masyarakat itu sendiri.Kesadaran ini dapat diaplikasikan dengan cara tidak memalsukan uang dan tidak mengedarkannya ketika ia menerima uang illegal/upal. Sedangkan dari akademisi, perlu adanya langkah konkrit dalam menyadarkan masyarakat, Langkah tersebut dapat dilakukan dengan cara memberi penyuluhan atau sosialisasi secara langsung melalui ucapan ataupun tulisan yang menjelaskan bahwa pemalsuan dan pengedaran uang palsu selain dilarang oleh agama, juga berdampak negative bagi Negara secara umum dan bagi masyarakat secara khusus.

Dari permasalahn di atas, tulisan ini mencoba sedikit menjelaskan tentang perspektif Islam terkait uang palsu sekaligus akan menjelaskan bagaimana dampak pemalsuan dan pengedaran uang palsu terhadap perekonomian.

# Uang  Palsu (UPAL) Dalam Perspektif Islam
Mekanisme pemalsuan uang tidak terlepas dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri, baik di dalam maupun di luar negeri.Pada dasarnya baik teknik-teknik pemalsuan yang sederhana sampaikepada yang menggunakan teknologi canggih, dapat dimanfaatkan dalamupaya-upaya pemalsuan atau peniruan.Pemalsuan uang dilakukan dengancara peniruan (conterfeiting) yaitu dengan cara mereproduksi atau meniru suatu dokumen secara utuh. Pelaku berupaya agar hasil initasi mempunyai kemiripan dengan yang asli. Akan tetapi mengingat uang kertas mempunyai tingkat sekuritas yang tinggi dan mahal, maka biasanya uang hasil tiruan mempunyai kualitas jauh lebih rendah (Eddi Wibowo, 2005:130-132).

Pemalsuan uang -yang dilakukan di luar cetakan milik Negara- pernah terjadi pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Beliau bermaksud menjatuhkan hukuman atas pelakunya dengan hukuman potong tangan.Namun kemudian diubahlah hukuman tersebut menjadi ta’zir saja. Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga terjadi pemalsuan dan pengedaran uang palsu di luar wewenang Negara, beliau menjatuhkan hukuman pada pelakunya dengan hukuman penjara dan menyita seluruh alat percetakan miliknya (M. Anwar Ibrahim, Republika, 2000).

Salah satu pakar fiqh ternama di Madinah Said bin Musyayyab (w. 94 H/712 M) mengatakan bahwa yang berwenang menerbitkan uang hanya penguasa. Apabila ada salah seorang yang tidak mempunyai wewenang dalam mencetak dan menerbitkan melakukan hal tersebut, maka yang bersangkuan telah melakukan tindak kriminal.Selain Said bin Musyayab, Abu ya’la menyebutkan dalam bukunya yang berjudul al-Ahkam as-Sulthaniyah, bahwa Ahmad bin Hambal menyatakan, “mencetak uang tidak pantas dilakukan kecuali di Daradh Dharbi (lembaga percetakan uang)) dengan izin pengusaha, karena jika masyarakat dibolehkan mencetak uang tertentu maka mereka akan melakukan pelanggaran-pelanggaran besar”. (Abdul Aziz, 2004:130).Sejalan dengan pemikiran tersebut, Imam Ghazali dalam kitabnya yang berjudul ihya’ ulumiddinmenyatakan bahwa pada dasarnya dalam pembuatan uang yang dilakukan tanpa izin dari pengusaha adalah dilarang oleh agama Islam.Dengan demikian, para pemalsu dan pengedar uang palsu tersebut harus dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku di Negara tersebut (al-Ghazali, 87).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat di simpulkan bahwa pihak yang berwenang dalam mencetak dan menerbitkan uang adalah pemerintah.Jika ada salah satu pihak yang tidak mempunyai wewenang dalam hal tersebut diketahui melanggar, maka pemerintah wajib memberi hukuman pada pelakunya sesuai dengan hukum yang berlaku dalam Negara masing-masing.

# Implikasi UPAL Terhadap Perekonomian
Mencuri uang adalah suatu kemaksiatan yang jika dikerjakan hanya orang yang mencurilah yang berdosa dan selain itu tidak ada lagi.Akan tetapi mengedarkan uang palsu adalah perbuatan dosa yang bersambung, yaitu sejak pembuat pertama sampai kepada yang menerima, bahkan sampai kepada yang terakhir menerima uang tersebut, selama uang itu masih beredar di tengah-tengah masyarakat (al-Ghazali, 87). Hal ini sesuai dengan hadits sahabat Jarir ibn Abdillah al-Bajali, ia berkata: Rasulullah bersabda yang artinya:
“Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka.Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim).

Pada dasarnya, pemalsuan uang sama dengan penipuan uang. Pemalsuan uang merupakan salah satu kejahatan tertua dan membutuhkan perencanaan terorganisasi yang sangat rapi.Kejahatan ini dapat merugikan kepentingan perekonomian nasional, merugikan negara dan mencoreng citra negara.Korban pertama kejahatan pemalsuan uang ini adalah masyarakat dan pada gilirannya akan berpengaruh pada perekonomian negara.Salah satu dampak serius yang timbul  daritindakan kriminal ini adalahmenurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap uang. Dampak negatif bagi masyarakat, terutama bagi kalangan bawah yang merupakan pengguna terbesar uang tunai yang umumnya hidup dalam kemiskinan harus bertambah menderita akibat tertipu dengan adanya uang palsu. Hal ini tentu akan membuat mereka semakin terjerumus ke dalam jurang kemiskinan. Selain itu, uang palsu juga bisa mendorong tindakan kriminal lain seperti pencucian uang, pembiayaan kegiatan terorisme dan politik uang. Dan akhirnya dapat merusak perekonomian Negara. (Suryanbodo Asmoro, 2009, 17).

Sejalan dengan hal di atas, Imam Nawawi (w. 676 H/1227 M) yang juga salah satu pakar fiqh yang mendukung madzhab Syafi’I, menyebutkan dalam bukunya al-Majmu’, (dalam bab zakat emas dan perak) bahwaotoritas pencetakan uang dinar dan dirham adalah termasuk tugas kepala Negara (pemerintah). Karena itu tidak disuakai (makruh) bagi warga Negara mencetak uang, meskipun terbuat dari emas dan perak yang murni pula. Karena jika rakyat diizinkan untuk mencetak uang maka akan menimbulkan dampak negative, yaitu: a) memberikan peluang dalam percetakan uang dengan mencampurkan emas yang murni dengan yang rendah mutunya, b) dapak merusak nilai mata uang bahkan dapat menyebabkan naiknya harga (inflasi) (Abdul Aziz, 2004:130). 


post by : Rony Sutiyanto

No comments:

Post a Comment