Seperti di kutip oleh republika.co.id, Salah satu masalah klasik dalam
perekonomian hingga saat ini adalah uang illegal atau yang lebih familiar
dikenal dengan sebutan uang palsu (UPAL).Permasalahan ini telah ada sejak masa
Khalifah Abdul Malik bin Marwan hingga masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz bin
Marwan (Abdul Aziz, 2004:129) bahkan selalu tumbuh setiap kurun waktu dan
berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi. Di Indonesia, fenomina
pengedaran uang ilegal bukanlah hal yang baru dan terus berlanjut seiring
berputarnya waktu, tak ubahnya hujan deras mengguyur padang gersang. Contoh:
bulan kemarin, majalah Republika mengabarkan bahwa Bank Indonesia (BI)
Pekanbaru mengungkapkan temuan uang palsu di Riau selama tahun 2012 mencapai Rp
26,51 juta atau meningkat sekitar 86 persen dibanding tahun 2011.Peneliti
Ekonomi Madya BI Pekanbaru, Abdul Majid Ikram mengatakan,”Dibanding dengan tiga
tahun terakhir, temuan uang palsu di Riau pada 2012 meningkat drastis dengan
nominal Rp 26,51 juta,” (Republika.co.id, kamis, 14/3). Tidak hanya di Riau,
pemalsuan dan pengedaran uang palsu (UPAL) juga terjadi di setiap wilayah
bahkan setiap desa, sebagaimana yang diberitakan dalam majalah republika, di
sana dikabarkan bahwa Kepolisian Resor (Polres) Jember, Jawa Timur, menangkap
dua pelaku yang diduga sindikat pengedar uang palsu. Keduanya ditangkap saat
turun dari bus di Terminal Tawang Alun kabupaten setempat.Setelah diperiksa
polisi, ternyata di dalam tas mereka ada ratusan pecahan Rp 100 ribu uang palsu
sebanyak 499 lembar, sehingga totalnya Rp 49.900.000.
Oleh karena itu, fenomena pemalsuan
dan pengedaran uang illegal atau uang palsu tidak hanya harus ditangani secara
serius oleh pemerintah saja, tetapi perlu adanya kesadaran dari masyarakat
setempat, baik masyarakat akademisi ataupun non akademisi.Dari pemerintah perlu
adanya langkah optimalisasi penegakan hukum yang kaffah dan dari masyarakat non
akademisi harus sadar dan menyadari bahwa pemalsuan dan pengedaran uang palsu
memberikan dampak negative bagi Negara, khususnya bagi masyarakat itu
sendiri.Kesadaran ini dapat diaplikasikan dengan cara tidak memalsukan uang dan
tidak mengedarkannya ketika ia menerima uang illegal/upal. Sedangkan dari
akademisi, perlu adanya langkah konkrit dalam menyadarkan masyarakat, Langkah
tersebut dapat dilakukan dengan cara memberi penyuluhan atau sosialisasi secara
langsung melalui ucapan ataupun tulisan yang menjelaskan bahwa pemalsuan dan
pengedaran uang palsu selain dilarang oleh agama, juga berdampak negative bagi
Negara secara umum dan bagi masyarakat secara khusus.
Dari permasalahn di atas, tulisan
ini mencoba sedikit menjelaskan tentang perspektif Islam terkait uang palsu
sekaligus akan menjelaskan bagaimana dampak pemalsuan dan pengedaran uang palsu
terhadap perekonomian.
# Uang Palsu (UPAL) Dalam Perspektif Islam
Mekanisme pemalsuan uang tidak terlepas dari kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi itu sendiri, baik di dalam maupun di luar negeri.Pada
dasarnya baik teknik-teknik pemalsuan yang sederhana sampaikepada yang
menggunakan teknologi canggih, dapat dimanfaatkan dalamupaya-upaya pemalsuan
atau peniruan.Pemalsuan uang dilakukan dengancara peniruan (conterfeiting)
yaitu dengan cara mereproduksi atau meniru suatu dokumen secara utuh. Pelaku
berupaya agar hasil initasi mempunyai kemiripan dengan yang asli. Akan tetapi
mengingat uang kertas mempunyai tingkat sekuritas yang tinggi dan mahal, maka
biasanya uang hasil tiruan mempunyai kualitas jauh lebih rendah (Eddi Wibowo,
2005:130-132).
Pemalsuan uang -yang dilakukan di
luar cetakan milik Negara- pernah terjadi pada masa Khalifah Abdul Malik bin
Marwan. Beliau bermaksud menjatuhkan hukuman atas pelakunya dengan hukuman
potong tangan.Namun kemudian diubahlah hukuman tersebut menjadi ta’zir saja.
Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga terjadi pemalsuan dan pengedaran
uang palsu di luar wewenang Negara, beliau menjatuhkan hukuman pada pelakunya
dengan hukuman penjara dan menyita seluruh alat percetakan miliknya (M. Anwar
Ibrahim, Republika, 2000).
Salah satu pakar fiqh ternama di
Madinah Said bin Musyayyab (w. 94 H/712 M) mengatakan bahwa yang berwenang
menerbitkan uang hanya penguasa. Apabila ada salah seorang yang tidak mempunyai
wewenang dalam mencetak dan menerbitkan melakukan hal tersebut, maka yang
bersangkuan telah melakukan tindak kriminal.Selain Said bin Musyayab, Abu ya’la
menyebutkan dalam bukunya yang berjudul al-Ahkam as-Sulthaniyah, bahwa Ahmad
bin Hambal menyatakan, “mencetak uang tidak pantas dilakukan kecuali di Daradh
Dharbi (lembaga percetakan uang)) dengan izin pengusaha, karena jika masyarakat
dibolehkan mencetak uang tertentu maka mereka akan melakukan
pelanggaran-pelanggaran besar”. (Abdul Aziz, 2004:130).Sejalan dengan pemikiran
tersebut, Imam Ghazali dalam kitabnya yang berjudul ihya’ ulumiddinmenyatakan
bahwa pada dasarnya dalam pembuatan uang yang dilakukan tanpa izin dari
pengusaha adalah dilarang oleh agama Islam.Dengan demikian, para pemalsu dan
pengedar uang palsu tersebut harus dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku di
Negara tersebut (al-Ghazali, 87).
Berdasarkan penjelasan di atas,
dapat di simpulkan bahwa pihak yang berwenang dalam mencetak dan menerbitkan
uang adalah pemerintah.Jika ada salah satu pihak yang tidak mempunyai wewenang
dalam hal tersebut diketahui melanggar, maka pemerintah wajib memberi hukuman
pada pelakunya sesuai dengan hukum yang berlaku dalam Negara masing-masing.
# Implikasi UPAL
Terhadap Perekonomian
Mencuri uang adalah suatu
kemaksiatan yang jika dikerjakan hanya orang yang mencurilah yang berdosa dan
selain itu tidak ada lagi.Akan tetapi mengedarkan uang palsu adalah perbuatan
dosa yang bersambung, yaitu sejak pembuat pertama sampai kepada yang menerima,
bahkan sampai kepada yang terakhir menerima uang tersebut, selama uang itu
masih beredar di tengah-tengah masyarakat (al-Ghazali, 87). Hal ini sesuai
dengan hadits sahabat Jarir ibn Abdillah al-Bajali, ia berkata: Rasulullah
bersabda yang artinya:
“Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah
(perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan
pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang
sedikitpun dari pahala mereka.Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang
buruk maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang
melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka
sedikitpun”. (HR. Muslim).
Pada dasarnya, pemalsuan uang sama
dengan penipuan uang. Pemalsuan uang merupakan salah satu kejahatan tertua dan
membutuhkan perencanaan terorganisasi yang sangat rapi.Kejahatan ini dapat
merugikan kepentingan perekonomian nasional, merugikan negara dan mencoreng
citra negara.Korban pertama kejahatan pemalsuan uang ini adalah masyarakat dan
pada gilirannya akan berpengaruh pada perekonomian negara.Salah satu dampak
serius yang timbul daritindakan kriminal
ini adalahmenurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap uang. Dampak
negatif bagi masyarakat, terutama bagi kalangan bawah yang merupakan pengguna
terbesar uang tunai yang umumnya hidup dalam kemiskinan harus bertambah
menderita akibat tertipu dengan adanya uang palsu. Hal ini tentu akan membuat
mereka semakin terjerumus ke dalam jurang kemiskinan. Selain itu, uang palsu
juga bisa mendorong tindakan kriminal lain seperti pencucian uang, pembiayaan
kegiatan terorisme dan politik uang. Dan akhirnya dapat merusak perekonomian
Negara. (Suryanbodo Asmoro, 2009, 17).
Sejalan dengan hal di atas, Imam
Nawawi (w. 676 H/1227 M) yang juga salah satu pakar fiqh yang mendukung madzhab
Syafi’I, menyebutkan dalam bukunya al-Majmu’, (dalam bab zakat emas dan perak)
bahwaotoritas pencetakan uang dinar dan dirham adalah termasuk tugas kepala
Negara (pemerintah). Karena itu tidak disuakai (makruh) bagi warga Negara
mencetak uang, meskipun terbuat dari emas dan perak yang murni pula. Karena
jika rakyat diizinkan untuk mencetak uang maka akan menimbulkan dampak
negative, yaitu: a) memberikan peluang dalam percetakan uang dengan
mencampurkan emas yang murni dengan yang rendah mutunya, b) dapak merusak nilai
mata uang bahkan dapat menyebabkan naiknya harga (inflasi) (Abdul Aziz,
2004:130).
post by : Rony Sutiyanto
No comments:
Post a Comment