Media berita
online antaranews.com pada hari Kamis tanggal 2 Oktober 2014 yang dikutip oleh
media online id.berita.yahoo.com dan berita ini juga saya kutip dari
m.kompasiana.com, menyebutkan bahwa Dana Moneter Internasional (IMF) pada Rabu
lalu telah mendesak negara-negara (di dunia) untuk memasukkan pengawasan
“shadow banking” sebagai bagian dari kebijakan mereka yang dirancang untuk
menjaga sistem keuangan secara keseluruhan tetap aman.
Bank Indonesia
(BI) telah mendefinsikan bahwa “Shadow Banking” adalah institusi keuangan yang
menjalankan fungsi layaknya perbankan, seperti misalnya perusahaan sekuritas, dana
pensiun, lembaga pembiayaan, private equity, asuransi, hingga Lembaga Keuangan
Mikro (LKM).
“Shadow banking merupakan sebuah anugerah dan
kutukan bagi negara-negara (di dunia), dan untuk menuai manfaatnya, pembuat
kebijakan harus meminimalkan risiko-risiko yang dapat ditimbulkannya terhadap
sistem keuangan secara keseluruhan,” kata IMF dalam Laporan Stabilitas Keuangan
Global terbarunya.
“Shadow banks” itu bertindak mirip seperti
bank biasa yang dengan cara mengambil uang dari investor (penabung, giran) dan
meminjamkannya kepada peminjam (kreditur), namun tidak diatur oleh peraturan
atau pengawasan yang sama (layaknya pada sebuah bank). Shadow banks dapat
mencakup lembaga keuangan seperti reksadana pasar uang, hedge fund, perusahaan
pembiayaan, dan broker/dealer. Di pasar negara-negara berkembang, misalnya,
bisnis “shadow banking” telah mencapai sekitar tujuh triliun dolar AS dan
pertumbuhannya melampaui sistem perbankan tradisional, kata laporan itu.
Sudah sejak lama
kita kenal “Shadow Banking” di Indonesia itu sebagai Lembaga Keuangan Non Bank,
dimana peraturan atau ketentuan (juklak) yang diberlakukan kepada lembaga ini
tidak termasuk didalam kitab Undang-Undang Perbankan (UUP), walau pada
prakteknya mereka menjalan usaha yang sama persis dengan praktek yang dilakukan
pihak perbankan dan yang anehnya lagi justru pihak perbankan sendiri khususnya
bank plat merah atau bank swasta besar malahan punya anak-anak perusahaan yang
juga bergerak dibidang Lembaga Keuangan Non Bank tersebut. Ini yang penulis
sebut sebagai (terjadinya) “konglomerasi perbankan”, sesuai dengan tulisan
penulis sebelumnya seperti yang tertuang disini.
Pihak Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) yang saat ini selaku lembaga yang berwenang penuh untuk
mengawasi dan menertibkan “Shadow Banking” ini, mungkin termasuk juga disini
adalah lembaga “pegadaian” dimana hampir semua pihak perbankan saat ini juga
ikut-ikutan menggelontorkan produk “pegadaian” di bank masing-masing, jangan
ditanya soal bagi hasil atau imbalan (yang di bank disebut sebagai bunga) yang
dikenakan setiap 3 bulanan pada lembaga “pegadaian” itu sungguh sangat mencekik
leher, bersaing erat dengan para “rentenir” bahkan mungkin mereka (pegadaian)
lebih besar lagi.
Disatu sisi
adanya “Shadow Banking” ini merupakan “peluang” bagi sebagian pihak perbankan
dan para kreditur yang membutuhkannya sebagai alternatif lain dari meminjam di
Bank, namun disisi lain bisa menjadi suatu “ancaman” sesuai dengan sinyalemen
IMF tersebut diatas. Untuk mengantisipasinya maka pihak OJK perlu segera
mengeluarkan Undang-Undang, Ketentuan Pelaksanaan atau Kebijakan secara lebih
detail dan lebih fokus lagi, jangan sampai sepak terjang “Shadow Banking” ini
tidak terawasi dengan baik atau berkembang terlalu pesat sehingga melampaui
perbankan tradisional baik aktivitas ataupun assetnya, sehingga jika terjadi
gejolak keuangan tidak akan menimbulkan dampak resiko sistimatik terhadap
sistem keuangan nasional secara keseluruhan.
Post by : Rony Sutiyanto
No comments:
Post a Comment